Senin, 19 Januari 2015

softskill tulisan

Rabu, 24/12/2014 05:59 WIB
Jadi Tersangka Korupsi Saat Jadi Bupati, Fuad Amin Juga Bakal Dijerat TPPU
Fajar Pratama - detikNews

Jakarta - Setelah menjerat dengan pasal suap, KPK menetapkan Fuad Amin sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang saat masih menjadi Bupati Bangkalan. Tak hanya itu saja, Fuad juga akan dijerat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Nah sekarang mudah-mudahan awal minggu depan atau setelah liburan selesai kita akan ekspose lagi untuk potensi ditingkatkan menjadi TPPU‎," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto di Jakarta, Rabu (24/12/2014).

Jika pasal TPPU resmi diterapkan, maka itu akan menjadi kasus ketiga yang menjerat Fuad. Untuk diketahui, kasus pertama adalah penerimaan suap Rp 700 juta dari PT Media Karya Sentosa yang membuat dia akhirnya ditangkap petugas KPK. Terkait suap itu, KPK menyatakan Fuad secara berkala menerima fee panas sejak 2007 dari PT Media Karya Sentosa, perusahaan yang bekerjasama dengan BUMD di Bangkalan. 

Kasus yang kedua adalah korupsi semasa Fuad menjadi Bupati Bangkalan. Untuk diketahui, Fuad menjabat sebagai Bupati selama dua periode.

PEMBAHASAN
1. Tanggung jawab profesi
Dalam menjalankan tugasnya sebagai bupati seharusnya mengayomi masyarakatnya dan tidak melakukan korupsi , dan tidak menguntungkan diri sendiri ,
2. Kepentingan publik
Bupati seharusnya menjaga kepercayaan masyarakat dan menjadi contoh bagi warganya . dengan adanya hal ini sudah pasti menghilangkan kepercayaan masyarakat . dana yang harusnya masuk kedalam kas daerah yang seharusnya di gunakan sebagaimana mestinya malah di gunakan untuk memperkaya diri sendiri .
3. Integritas
Integritas mewajibkan para professional untuk bersikap jujur dan amanah , dengan integritas yang tinggi korupsi pun tidak akan terjadi .
4. Objektivitas
Seharusnya bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Kenyataannya nihil
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Seharusnya pihak yang menyelewengkan dana mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, karena hal tersebut demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik.
6. Perilaku Profesional
Pihak yang tidak bertanggung jawab itu, sudah membuat masyarakat public berpandang negative terhadap aparat pemerintahan.


7. Standar Teknis
Bupati harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan serta berhati hati .


Sabtu, 29 November 2014

paper

pengaruh standar audit , kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit


PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:3). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan. Guna menunjang profesionalismenya sebagai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dimana standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang diauditnya secara keseluruhan.
Namun selain standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan profesinya.
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari manajemen (Agen) untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen ingin supaya kinerjanya terlihat selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa lainnya yang diberikan oleh akuntan publik inilah yang akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Adapun pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik semakin besar setelah terjadi banyak skandal yang melibatkan akuntan publik baik diluar negeri maupun didalam negeri.
Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter(1986) dalam Saifuddin (2004:23) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan pendapat Trotter, selanjutnya Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industry klien.
Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
Sehingga berdasarkan uraian di atas dan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan dan pengalaman. Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan, maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor “. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi akuntan publik ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, namun disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menolak tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan maka independensi auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka waktu dimana auditor memberikan jasa kepada klien (auditor tenure).
Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di “audit“ oleh sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya denganstandar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Selain itu peer review dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59)
Ada beberapa penelitian tentang kualitas audit yang telah dilakukan baik dari segi topik maupun metode penelitian (Kusharyanti, 2003). Dari segi topic antara lain: Besaran KAP (De Angelo,1981; Palmrose, 1986 ;Deis dan Giroux,1992), audit tenure (Aldhizer dan Lampe, 1997), audit fee (Jansen dan Payne,2003), jasa non audit (Standards dan Poor, 2000 ; Wooten, 2003).
TUJUAN PENELITIAN
Menganalisa Pengaruh Dari Standar audit kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit
PEMBAHASAN
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) dan Ng (1978) dalam Mardiyah (2005:35) mencoba menjelaskan adanya konflik kepentingan antara manajemen selaku agen dan pemilik serta entitas lain dalam kontrak (misal kreditur) selaku principal. Principal ingin mengetahui segala informasi termasuki aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan pertanggungjawaban dari agen (manajemen). Berdasarkan laporan tersebut, principal dapat menilai kinerja manajemen. Namun yang seringkali terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya dianggap baik. Untuk mengurangi atau meminimalkan kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dan membuat laporan keuangan yang dibuat manajemen lebih dapat dipercaya (reliabel) maka diperlukan pengujian dan dalam hal itu pengujian tersebut hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang independen yaitu auditor independen.
2.2 Kualitas Audit
Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya
harus memegang prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002:47) ada 8 prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik yaitu :
1. Tanggung jawab profesi.
Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik.
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas.
Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan intregitas setinggi mungkin.
4. Objektivitas.
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional.
6. Kerahasiaan.
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
7. Perilaku Profesional.
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8. Standar Teknis.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam hal ini adalah standar auditing. Standar auditing terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (SPAP,2001;150:1):
1. Standar Umum.
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
2. Standar Pekerjaan Lapangan.
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat diperoleh untuk merencanakan audit dan menetukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3. Standar Pelaporan.
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d. Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi.
Sehingga berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. Selanjutnya menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (probability)dimana auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi klien. Adapun kemampuan untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk melaporkan temuan salah saji tersebut tergantung pada independensinya.
AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002) menyatakan bahwa “Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian) dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor“. Lucas (1996) dalam Ratnawati (2005) menyatakan bahwa kunci untuk mempertahankan kualitas antara lain : reliability, tangibles, emphaty, dan responsiveness.
Dari pengertian tentang kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
Sehingga berdasarkan definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan dan untuk menjalankan kewajibannya ada 3 komponen yang harus dimiliki oleh auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi dan due professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil, salah satunya tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
2.3 Kompetensi
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat dan seksama (due professional care).
Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Pendapat lain adalah dari Dreyfus dan Dreyfus (1986), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian seseorang yang berperan secara berkelanjutan yang mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “ mengetahui sesuatu “ ke“ mengetahui bagaimana “. Seperti misalnya dari sekedar pengetahuan yang tergantung pada aturan tertentu kepada suatu pernyataan yang bersifat intuitif.
Sedangkan Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan.
Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1983) dalam Sri Lastanti (2005:88) mendefinisikan kompetensi adalah ketrampilan dari seorang ahli. Dimana ahli didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu atau pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman.
Adapun Bedard (1986) dalam Sri lastanti (2005:88) mengartikan keahlian atau kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Sementara itu dalam artikel yang sama, Shanteau (1987) mendefinisikan keahlian sebagai orang yang memiliki ketrampilan dan kemampuan pada derajad yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.
Adapun kompetensi menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2002) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yakni sudut pandang auditor individual, audit tim dan Kantor AkuntanPublik (KAP). Masing-masing sudut pandang akan dibahas lebih mendetail berikut ini :
a. Kompetensi Auditor Individual.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor, antara lain pengetahuan dan pengalaman. Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Selain itu diperlukan juga pengalaman dalam melakukan audit. Seperti yang dikemukakan oleh Libby dan Frederick (1990) bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik.
b. Kompetensi Audit Tim.
Standar pekerjaan lapangan yang kedua menyatakan bahwa jika pekerjaan menggunakan asisten maka harus disupervisi dengan semestinya. Dalam suatu penugasan, satu tim audit biasanya terdiri dari auditor yunior, auditor senior, manajer dan partner. Tim audit ini dipandang sebagai faktor yang lebih menentukan kualitas audit (Wooten,2003). Kerjasama yang baik antar anggota tim, profesionalime, persistensi, skeptisisme, proses kendali mutu yang kuat, pengalaman dengan klien, dan pengalaman industri yang baik akan menghasilkan tim audit yang berkualitas tinggi. Selain itu, adanya perhatian dari partner dan manajer pada penugasan ditemukan memiliki kaitan dengan kualitas audit.
c. Kompetensi dari Sudut Pandang KAP.
Besaran KAP menurut Deis & Giroux (1992) diukur dari jumlah klien dan persentase dari audit fee dalam usaha mempertahankan kliennya untuk tidak berpindah pada KAP yang lain.
2.3.1 Pengetahuan
Kartika Widhi (2006) menyatakan bahwa pengetahuan memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Adapun SPAP 2001 tentang standar umum, menjelaskan bahwa dalam melakukan audit, auditor harus memiliki keahlian dan struktur pengetahuan yang cukup.
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).
Harhinto (2004) menemukan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi keahlian audit yang pada gilirannya akan menentukan kualitas audit.
Adapun secara umum ada 5 pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003), yaitu :
1. Pengetahuan pengauditan umum,
2. Pengetahuan area fungsional,
3. Pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru,
4. Pengetahuan mengenai industri khusus,
5. Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Pengetahuan pengauditan umum seperti risiko audit, prosedur audit, dan lain-lain kebanyakan diperoleh di perguruan tinggi, sebagian dari pelatihan dan pengalaman. Untuk area fungsional seperti perpajakan dan pengauditan dengan komputer sebagian didapatkan dari pendidikan formal perguruan tinggi, sebagian besar dari pelatihan dan pengalaman. Demikian juga dengan isu akuntansi, auditor bisa mendapatkannya dari pelatihan profesional yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan mengenai industri khusus dan hal-hal umum kebanyakan diperoleh dari pelatihan dan pengalaman.
Selanjutnya Ashton (1991) dalam Mayangsari (2003) meneliti auditor dari berbagai tingkat jenjang yakni dari partner sampai staf dengan 2 pengujian. Pengujian pertama dilakukan dengan membandingkan antara pengetahuan auditor mengenai frekuensi dampak kesalahan pada laporan keuangan (error effect) pada5 industri dengan frekuensi archival. Pengujian kedua dilakukan dengan membandingkan pengetahuan auditor dalam menganalisa sebab (error cause) dan akibat kesalahan pada industri manufaktur dengan frekuensi archival. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan pengetahuan auditor mempengaruhi error effect pada berbagai tingkat pengalaman, tidak dapat dijelaskan oleh lama pengalaman dalam mengaudit industri tertentu dan jumlah klien yang mereka audit. Selain itu pengetahuan auditor yang mempunyai pengalaman yang sama mengenai sebab dan akibat menunjukkan perbedaan yang besar. Singkatnya, auditor yang mempunyai tingkatan pengalaman yang sama, belum tentu pengetahuan yang dimiliki sama pula. Jadi ukuran keahlian tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan suatu keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki unsur lain disamping pengalaman, misalnya pengetahuan.
Berdasarkan Murtanto dan Gudono (1999) terdapat 2(dua) pandangan mengenai keahlian. Pertama, pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan pada paradigma einhorn. Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak kriteria objektif dalam mendefinisikan seorang ahli. Kedua, pandangan kognitif yang menjelaskan keahlian dari sudut pandang pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman langsung (pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan).
2.3.2 Pengalaman
Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman. Menurut Tubbs (1992) dalam Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal : (1.) Mendeteksi kesalahan, (2.) Memahami kesalahan secara akurat, (3.) Mencari penyebab kesalahan. Murphy dan Wrigth (1984) dalam Sularso dan Naim (1999) memberikan bukti empiris bahwa seseorang yang berpengalaman dalam suatu bidang subtantif memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya. Weber dan Croker (1983) dalam artikel yang sama juga menunjukkan bahwa semakin banyak pengalaman seseorang, maka hasil pekerjaannya semakin akurat dan lebih banyak mempunyai memori tentang struktur kategori yang rumit.
Menurut Gibbins (1984) dalam Hernadianto (2002:25), pengalaman menciptakan struktur pengetahuan, yang terdiri atas suatu sistem dari pengetahuan yang sistemtis dan abstrak. Pengetahuan ini tersimpan dalam memori jangka panjang dan dibentuk dari lingkungan pengalaman langsung masa lalu. Singkat kata, teori ini menjelaskan bahwa melalui pengalaman auditor dapat memperoleh pengetahuan dan mengembangkan struktur pengetahuannya. Auditor yang berpengalaman akan memiliki lebih banyak pengetahuan dan struktur memori lebih baik dibandingkan auditor yang belum berpengalaman.
Libby (1991) dalam Hernadianto (2002:26) mengatakan bahwa seorang auditor menjadi ahli terutama diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman. Seorang auditor yang lebih berpengalaman akan memiliki skema yang lebih baik dalam mendefinisikan kekeliruan-kekeliruan daripada auditor yang kurang berpengalaman.
Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2002:5) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam Mayangsari (2003:4).
Sedangkan Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman auditor berhubungan positif dengan kualitas audit. Dan Kartika Widhi (2006) memperkuat penelitian tersebut dengan sampel yang berbeda yang menghasilkan temuan bahwa semakin berpengalamannya auditor maka semakin tinggi tingkat kesuksesan dalam melaksanakan audit.
2.4 Independensi
Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan public berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2002).
Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Berkaitan dengan hal itu terdapat 4 hal yang mengganggu independensi akuntan publik, yaitu :
1. Akuntan publik memiliki mutual atau conflicting interest dengan klien,
2. Mengaudit pekerjaan akuntan publik itu sendiri,
3. Berfungsi sebagai manajemen atau karyawan dari klien dan
4. Bertindak sebagai penasihat (advocate) dari klien. Akuntan publik akan terganggu independensinya jika memiliki hubungan bisnis, keuangan dan manajemen atau karyawan dengan kliennya.
2.4.1 Lama Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure)
Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik. Keputusan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi.
2.4.2 Tekanan dari klien
Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan klien (Media akuntansi, 1997). Pada situasi ini, auditor mengalami dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka ia melanggar standar profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya.
Selain itu, persaingan antar kantor akuntan (KAP) semakin besar. KAP semakin bertambah banyak, sedangkan pertumbuhan perusahaan tidak sebanding dengan pertumbuhan KAP. Terlebih lagi banyak perusahaan yang melakukan merger atau akuisisi dan akibat krisis ekonomi di Indonesia banyak perusahan yang mengalami kebangkrutan. Sehingga oleh karena itu KAP akan lebih sulit untuk mendapatkan klien baru sehingga KAP enggan melepas klien yang sudah ada.
Kondisi keuangan klien berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor untuk mengatasi tekanan klien (Knapp,1985) dalam (Harhinto,2004:44). Klien yang mempunyai kondisi keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang cukup besar dan juga dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu probabilitas terjadinya kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan baik relatif kecil. Pada situasi ini auditor menjadi puas diri sehingga kurang teliti dalam melakukan audit.
Berdasarkan uraian di atas, maka auditor memiliki posisi yang strategis baik di mata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Selain itu pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan auditor dalam mengaudit laporan keuangan.
Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik, standar profesi dan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. Setiap auditor harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya dengan bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil, tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan pribadinya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998)
2.4.3 Telaah dari rekan auditor (Peer Review)
Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut tranparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan Publik. Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang sesuai dengan standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan masyarakat luas akan jasa yang diberikan.
Oleh karena itu pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik perlu dimonitor dan di “audit“ guna menilai kelayakan desain system pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Peer review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor Akuntan Publik yang direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Manfaat yang diperoleh dari peer review antara lain mengurangi resiko litigation, memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan.
2.4.4 Jasa Non Audit
Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2002:29). Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas audit.
Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi
independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan pada auditor agar bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa pengecualian (Barkes dan Simnet (1994), Knapp (1985) dalam Harhinto (2004:45)). Pemberian jasa selain jasa audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian laporan keungan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya. Maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut. Maka berdasarkan hal tersebut diajukan hipotesis sebagai berikut: Standards & Poor dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa berbagai jasa non audit yang diberikan oleh KAP kepada satu klien dapat merusak independensi.
2.5 Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit
Salah satu fungsi dari akuntan publik adalah menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Namun adanya konflik kepentingan antara pihak internal dan eksternal perusahaan, menuntut akuntan publik untuk menghasilkan laporan auditan yang berkualitas yang dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut. Selain itu dengan menjamurnya skandal keuangan baik domistik maupun manca negara, sebagian besar bertolak dari laporan keuangan yang pernah dipublikasikan oleh perusahaan. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik dalam mengaudit laporan keuangan klien.
Berdasarkan logika dari paparan di atas maka dikembangkan suatu kerangka pemikiran atas penelitian ini, yaitu :
1. Pengaruh Kompetensi Auditor terhadap Kualitas Audit.
Kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalamannya yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.
Kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa seorang auditor yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai akan lebih memahami dan mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam dan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks dalam lingkungan audit kliennya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kompetensi yang dimiliki auditor maka semakin tinggi pula kualitas audit yang dihasilkannya.
2. Pengaruh Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit.
Independensi merupakan sikap yang diharapkan dari seorang akuntanpublik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Oleh karena itu cukuplah beralasan bahwa untuk menghasilkan audit yang berkualitas diperlukan sikap independen dari auditor. Karena jika auditor kehilangan independensinya maka laporan audit yang dihasilkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
3. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit.
Dalam melaksanakan proses audit, auditor membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang baik karena dengan kedua hal itu auditor menjadi lebih mampu memahami kondisi keuangan dan laporan keuangan kliennya. Kemudian dengan sikap independensinya maka auditor dapat melaporkan dalam laporan auditan jika terjadi pelanggaran dalam laporan keuangan kliennya.
Sehingga berdasarkan logika di atas maka kompetensi dan independensi memiliki pengaruh dalam menghasilkan audit yang berkualitas baik itu proses maupun outputnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk menghasilkan suatu laporan yang handal ,maka auditor wajib mempunyai kompetensi yang memadai, diataranya memiliki keahlian dan pengalaman. Namun, kompetensi yang memadai sekalipun tanpa dibarengi independesi dari auditor itu sendiri, maka kualitas laporan auditnya kurang dapat dipercaya. Maka dari itu, kedua komponen ini sangat berpengaruh di dalam menghasilkan suatu laporan audit yang benar-benar dapat dipercaya kehandalannya.
3.2 Saran
1. Untuk meningkatkan kualitas audit diperlukan adanya peningkatan kompetensi para auditor yakni dengan pemberian pelatihan-pelatihan serta diberikan kesempatan kepada para auditor untuk mengikuti kursus-kursus atau peningkatan pendidikan profesi.
2. Untuk para auditor diharapkan meningkatkan independensinya, karena faktor independensi dapat mempengaruhi kualitas audit. Auditor yang mendapat tugas dari kliennya diusahakan benar-benar independen, tidak mendapat tekanan dari klien, tidak memiliki perasaan sungkan sehingga dalam melaksanakan tugas auditnya benar-benar objektif dan dapat menghasilkan audit yang berkualitas.



tugas 8

PERKEMBANGAN STANDAR AUDIT DAN PERKEMBANGAN STANDAR PROFESI ETIKA AUDIT

      1.      Perkembangan Standar Audit
             a.      Pengertian Standar Audit
Standar Profesional Akuntan Publik (disingkat SPAP) adalah kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis yang merupakan panduan dalam memberikan jasa bagi Akuntan Publik di Indonesia. SPAP adalah merupakan hasil pengembangan berkelanjutan standar profesional akuntan publik yang dimulai sejak tahun 1973. Pada tahap awal perkembangannya, standar ini disusun oleh suatu komite dalam organisasi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang diberi nama Komite Norma Pemeriksaan Akuntan. SPAP merupakan kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis dan aturan etika. Pernyataan standar teknis yang dikodifikasi dalam buku SPAP ini terdiri dari :
             -    Pernyataan Standar Auditing 
       Standar auditing terdiri dari 10 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA).
                     -    Pernyataan Standar Atestasi
Standar atestasi memberikan kerangka untuk fungsi atestasi bagi jasa akuntan publik yang mencakup tingkat keyakinan tertinggi yang diberikan dalam jasa audit atas laporan keuangan historis, pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, serta tipe perikatan atestasi lain yang memberikan keyakinan yang lebih rendah (review, pemeriksaan, dan prosedur yang disepakati). Standar atestasi terdiri dari 11 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Atestasi (PSAT).
            -    Pernyataan Jasa Akuntansi dan Review
Standar Jasa Akuntansi dan Review memberikan rerangka untuk fungsi nonatestasi bagi jasa akuntan publik yang mencakup jasa akuntansi dan review.
            -     Pernyataan Jasa Konsultansi
Standar Jasa Konsultansi memberikan panduan bagi praktisi yang menyediakan jasa konsultansi bagi kliennya melalui kantor akuntan publik.
            -     Pernyataan Standar Pengendalian Mutu
Dalam perikatan jasa profesional, kantor akuntan publik bertanggung jawab untuk mematuhi berbagai standar relevan yang telah diterbitkan oleh Dewan dan Kompartemen Akuntan Publik. Dalam pemenuhan tanggung jawab tersebut, kantor akuntan publik wajib mempertimbangkan integritas stafnya dalam menentukan hubungan profesionalnya.

Standar auditing merupakan suatu panduan audit atas laporan keuangan historis. Didalamnya terdapat 10 standar yang secara rinci dalam bentuk pernyataan standar auditing (PSA). Berikut akan dipaparkan tentang standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia :
        1.      Standar Umum
Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Dalam melaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib mengggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

        2.      Standar Pekerjaan Lapangan
Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

        3.      Standar Pelaporan
Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan perode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. Pengungkapan infomatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan.

       b.      Perkembangan Standar Audit

Tahun 1972 Ikatan Akuntan Indonesia berhasil menerbitkan Norma Pemeriksaan Akuntan, yang disahkan di dalam Kongres ke III Ikatan Akuntan Indonesia. Pada tanggal 19 April 1986, Norma Pemeriksaan Akuntan yang telah diteliti dan disempurnakan oleh Tim Pengesahan, serta disahkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia sebagai norma pemeriksaan yang berlaku efektif selambat-lambatnya untuk penugasan pemeriksaan atas laporan keuangan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 1986. Tahun 1992, Ikatan Akuntan Indonesia menerbitkan Norma Pemeriksaan Akuntan, Edisi revisi yang memasukkan suplemen No.1 sampai dengan No.12 dan interpretasi No.1 sampai dengan Nomor.2. Indonesia merubah nama Komite Norma Pemeriksaan Akuntan menjadi Dewan Standar Profesional Akuntan Publik. Selama tahun 1999 Dewan melakukan perubahan atas Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Agustus 1994 dan menerbitkannya dalam buku yang diberi judul “Standar ProfesionalAkuntan Publik per 1 Januari 2001”.

Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Januari 2001 terdiri dari lima standar, yaitu:
           1.      Pernyataan Standar Auditing (PSA) yang dilengkapi dengan InterpretasiPernyataan Standar Auditing (IPSA).
2.     Pernyataan Standar Atestasi (PSAT) yang dilengkapi dengan InterpretasiPernyataan Standar Atestasi (IPSAT).
3.     Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (PSAR) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (IPSAR).
4.     Pernyataan Standar Jasa Konsultasi (PSJK) yang dilengkapi denganInterpretasi Pernyataan Standar Jasa Konsultasi (IPSJK).
5.     Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (PSPM) yang dilengkapi denganInterpretasi Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (IPSM).

      2.      Perkembangan Standar Etika Profesi Akuntansi

Profesi akuntan sudah ada sejak abad ke-15, walaupun sebenarnya masih dipertentangkan para ahli mengenai kapan sebenarnya profesi ini dimulai. Di Inggris pihak yang bukan pemilik dan bukan pengelola yang sekarang disebut auditor diminta untuk memeriksa mengenai kecurigaan yang terdapat di pembukuan laporan keuangan yang disampaikan oleh pengelola kekayaan pemilik harta.

Menurut sejarahnya para pemilik modal menyerahkan dananya kepada orang lain untuk dikelola/ dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Kalau kegiatan ini belum besar umumnya kedua belah pihak masih dapat saling percaya penuh sehingga tidak diperlukan pemeriksaan. Namun semakin besar volume kegiatan usaha, pemilik dana kadang-kadang merasa was-was kalau-kalau modalnya disalahgunakan oleh pengelolanya atau mungkin pengelolanya memberikan informasi yang tidak obyektif yang mungkin dapat merugikan pemilik dana.

Keadaan inilah yang membuat pemilik dana membutuhkan pihak ketiga yang dipercaya oleh masyarakat untuk memeriksa kelayakan atau kebenaran laporan keuangan pengelola dana. Pihak itulah yang dikenal sebagai Auditor.

Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.

Agar profesi Akuntan dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya, maka harus memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
    1.      Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
      2.      Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
      3.      Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat/pemerintah.
      4.      Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
     5.      Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.

Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak disebut sebagai salah satu profesi. Perkembangan profesi akuntan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
  
      a)      Masa Orde Lama
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda sekitar tahun 1642. Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama era ini.

Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907. Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur. Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah  J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907.

Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915. Akuntan publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor  di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst. Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929.

Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari. Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Pada tahun 1957, kelompok pertama mahasiswa akuntansi lulus dari Universitas Indonesia. Namun demikian, kantor akuntan publik milik orang Belanda tidak mengakui kualifikasi mereka. Atas dasar kenyataan tersebut, akuntan lulusan Universitas Indonesia bersama-sama dengan dengan akuntan senior lulusan Belanda mendirikan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tanggal 23 Desember 1957. professor Soemarjo Tjitrosidojo – akademisi berpendidikan Belanda adalah Ketua Umum IAI yang pertama. Tujuan didirikannya IAI ini antara lain mempromosikan status profesi akuntansi, mendukung pembangunan nasional dan meningkatkan keahlian serta kompetensi akuntan.

Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi, seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960.

Selama tahun 1960an, menurunnya peran kegiatan keuangan mengakibatkan penurunan permintaan jasa akuntansi dan kondisi ini berpengaruh pada perkembangan profesi akuntansi di Indonesia. Namun demikian, perubahan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi pada akhir era tersebut, telah mendorong pertumbuhan profesi akuntansi.

      b)      Masa Orde Baru
Profesi akuntansi mulai berkembang cepat sejak tahun 1967 yaitu setelah dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri 1968. Usaha profesionalisasi IAI mendapat sambutan ketika dilaksanakan konvensi akuntansi yang pertama yaitu pada tahun 1969. hal ini terutama disebabkan oleh adanya Surat Keputusan Menteri Keuangan yang mewajibkan akuntan bersertifikat menjadi anggota IAI.

Pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika. Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan ­lembaga-lembaga internasional.

Pada tahun 1973, IAI membentuk “Komite Norma Pemeriksaan Akuntan” (KNPA) untuk mendukung terciptanya perbaikan ujian akuntansi (Bahciar 2001). Yayasan Pengembangan Ilmu Akuntansi Indonesia (YPAI) didirikan pada tahun 1974 untuk mendukung pengembangan profesi melalui program pelatihan dan kegiatan penelitian. Selanjutnya pada tahun 1985 dibentuk Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi (TKPA). Kegitan TKPA ini didukung sepenuhnya oleh IAI dan didanai oleh Bank Dunia sampai berakhir tahun 1993. misinya adalah untuk mengembangkan pendidikan akuntansi, profesi akuntansi, standar profesi dan kode etik profesi.

Kemajuan selanjutnya dapat dilihat pada tahun 1990an ketika Bank Dunia mensponsori Proyek Pengembangan Akunatan (PPA). Melalui proyek ini, berbagai standar akuntansi dan auditing dikembangkan, standar profesi diperkuat dan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) mulai dikenalkan. Ujian Sertifikasi Akuntan Publik berstandar Internasional diberlakukan sebagai syarat wajib bagi akuntan publik yang berpraktik sejak tahun 1997 (akuntan yang sudah berpraktik sebagai akuntan public selama 1997 tidak wajib mengikuti USAP). Pengenalan USAP ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat SK Menteri Keuangan No. 43/ KMK. 017/ 1997 yang berisi ketentuan tentang prosedur perizinan, pengawasan, dan sanksi bagi akuntan public yang bermasalah (SK ini kemudian diganti dengan SK No. 470/ kmk.017/ 1999).

Empat puluh lima tahun setelah pendirian, IAI berkembang menjadi organisasi profesi yang diakui keberadaanya di Indonesia dan berprofesi sebagai akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan pendidikan dan akuntan pemerintahan.

Profesi akuntansi menjadi sorotan publik ketika terjadi krisis keuangan di Asia pada tahun 1997 yang ditandai dengan bangkrutnya berbagai perusahaan dan Bank di Indonesia. Hal ini disebabkan perusahaan yang mengalami kebangkrutan tersebut, banyak yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (unqualified audit opinions) dari akuntan publik. Pada bulan Juni 1998 Asian Devloment Bank (ADB) menyetujui Financial Governance Reform Sector Develoment Program (FGRSDP) untuk mendukung usaha pemerintah mempromosikan dan memperkuat proses pengelolaan perusahaan (governance) di sektor public dan keuangan. Kebijakan FGRSDP yang disetujui pemerintah adalah usaha untuk menyusun peraturan yang membuat :
1.      Auditor bertanggung jawab atas kelalaian dalam melaksanakan audit.
2.      Direktur bertanggung jawab atas informasi yang salah dalam laporan keuangan dan informasi publik lainnya.

      c)      Masa Sekarang
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency).

Walaupun demikian, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1.      Tumbuhnya pasar modal.
2.      Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.
3.      Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia.
4.      Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1.      Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat.
2.      Makin baiknya transportasi dan komunikasi.
3.      Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik.
4.      Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1.      Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2.      Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3.      Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Tahun 2001, Departemen Keuangan mengeluarkan Draft Akademik tentang Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik yang baru. Dalam draft ini disebutkan bahwa tujuan dibenetuknya UU Akuntan Publik adalah :
1.      Melindungi kepercayaan publik yang diberikan kepada akuntan public.
2.      Memberikan kerangka hukum yang lebih jelas bagi akuntan publik.
3.      Mendukung pembangunan ekonomi nasional dan menyiapkan akuntan dalam menyongsong era liberalisasi jasa akuntan publik.
Hal penting dalam RUU AP ini adalah ketentuan yang menyebutkan bahwa akuntan publik dan kantor akuntan publik dapat dituntut dengan sanksi pidana.

Sumber :